1. Dasar Teori
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" .
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil".
Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum,
dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang
menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan
memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan
dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri
tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.
2. Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural dalam Konteks Negara
Dalam
sejarah filsafat hukum, ada banyak pendapat dalam merumuskan apakah
keadilan. Saya tidak bermaksud menguraikan hal yang pelik ini pada
kesempatan ini. Dalam teori ilmu hukum, memang ada teoritikus yang
membedakan keadilan dalam dua kategori, keadilan substantif dan keadilan
prosedural. Kalau dikaitkan dengan hukum pidana. Keadilan substantif
berkaitan dengan hukum materil, sedang keadilan prosedural berkaitan
dengan hukum formil atau hukum acara, yakni bagaimana menegakkan atau
menjalankan hukum materil itu. Semua ini adalah abstrak, pada dataran
filsafat dan teori. Apa yang adil dalam norma, belum tentu adil dalam
pelaksanaannya. Baik keadilan substantif dan keadilan prosedural
mengalami masalah yang sama pada dataran pelaksanaan.
Kalau mengikuti pembedaan di atas, saya berpendapat bahwa keadilan substantif dan keadilan prosedural haruslah berjalan paralel. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan negara, yang mempunyai otoritas untuk menegakkan hukum materil, yang pelaksanaannya dilakukan menurut hukum prosedural tertentu. Tanpa hukum prosedural (antara lain, siapa yang berwenang dan bagaimana cara melaksanakannya, apa batas-batasnya) maka negara tidak ada artinya. Dalam keadaan tanpa negara ada namun tidak berfungsi, setiap orang leluasa menegakkan keadilan substantif, dengan caranya sendiri, tanpa perduli bagaimana caranya, sesuatu yang terkait dengan keadilan prosedural tadi.
Ketika negara tidak berfungsi mengatasi kemiskinan, Abang Jampang atau Robinson Crusoe merampok di mana-mana yang hasil rampokannya dibagikan kepada orang miskin. Dari sudut keadilan substantif, mungkin apa yang dilakukan Jampang dan Robinson mungkin benar. Tapi dari sudut prosedural yang dilakukannya terang salah. Dari keadilan substantif pun merampok tetap salah, hanya karena ada alasan pembenar saja, maka tindakan itu secara substantif terlihat adil, sehingga secara prosedural, tindakan keduanya dapat "dimaklumi".
Dalam kehidupan pribadi, seorang pria dan wanita ingin hidup bersama atas dasar saling cinta-mencintai. Namun keduanya memilih kumpul kebo sampai beranak-pinak. Kalau ditanya mengapa demikian, mereka jawab yang substansial keduanya ingin hidup bersama, urusan nikah hanyalah formalisme dan urusan prosedural belaka. Dalam konteks kumpul kebo ini, tidak sederhana membedakan antara yang substantif dan yang prosedural.
Saya menulis artikel pendek ini hanya sekadar ingin meluruskan, jangan sampai terkesan saya ini mengedepankan keadilan prosedural dan mengabaikan keadilan substantif, seperti contoh kasus Jaksa Agung Hendarman dan saya menentang pengabaian hak-hak narapidana korupsi dan terorisme. Hendarman seolah secara substantif sah bertindak sebagai Jaksa Agung karena Presiden punya hak prerogatif mengangkat Jaksa Agung. Soal Hendarman tidak diangkat karena "lupa" itu hanya hanya prosedur belaka yang tidak substantif.
Tak seorang pun membantah bahwa Presiden punya hak prerogatif mengangkat Jaksa Agung. Tetapi dalam konteks sebuah negara, legalitas kewenangan bertindak menjadi sangat esensial. Secara substantif setiap orang tentu berkewajiban menegakkan hukum dan ketertiban. Tapi apa lantas setiap orang yang bukan polisi bisa seenaknya menggeledah dan menangkapi orang lain dengan alasan orang lain itu melanggar hukum dan ketertiban, hanya dengan alasan bahwa itu hanyalah soal prosedural. Kehidupan masyarakat akan kacau balau dan negara sudah tidak lagi menjalankan fungsinya dengan benar kalau setiap orang tanpa wewenang dapat bertindak seenaknya, walau secara substantif niatnya baik. Itu saja tanggapan saya.
Kalau mengikuti pembedaan di atas, saya berpendapat bahwa keadilan substantif dan keadilan prosedural haruslah berjalan paralel. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan negara, yang mempunyai otoritas untuk menegakkan hukum materil, yang pelaksanaannya dilakukan menurut hukum prosedural tertentu. Tanpa hukum prosedural (antara lain, siapa yang berwenang dan bagaimana cara melaksanakannya, apa batas-batasnya) maka negara tidak ada artinya. Dalam keadaan tanpa negara ada namun tidak berfungsi, setiap orang leluasa menegakkan keadilan substantif, dengan caranya sendiri, tanpa perduli bagaimana caranya, sesuatu yang terkait dengan keadilan prosedural tadi.
Ketika negara tidak berfungsi mengatasi kemiskinan, Abang Jampang atau Robinson Crusoe merampok di mana-mana yang hasil rampokannya dibagikan kepada orang miskin. Dari sudut keadilan substantif, mungkin apa yang dilakukan Jampang dan Robinson mungkin benar. Tapi dari sudut prosedural yang dilakukannya terang salah. Dari keadilan substantif pun merampok tetap salah, hanya karena ada alasan pembenar saja, maka tindakan itu secara substantif terlihat adil, sehingga secara prosedural, tindakan keduanya dapat "dimaklumi".
Dalam kehidupan pribadi, seorang pria dan wanita ingin hidup bersama atas dasar saling cinta-mencintai. Namun keduanya memilih kumpul kebo sampai beranak-pinak. Kalau ditanya mengapa demikian, mereka jawab yang substansial keduanya ingin hidup bersama, urusan nikah hanyalah formalisme dan urusan prosedural belaka. Dalam konteks kumpul kebo ini, tidak sederhana membedakan antara yang substantif dan yang prosedural.
Saya menulis artikel pendek ini hanya sekadar ingin meluruskan, jangan sampai terkesan saya ini mengedepankan keadilan prosedural dan mengabaikan keadilan substantif, seperti contoh kasus Jaksa Agung Hendarman dan saya menentang pengabaian hak-hak narapidana korupsi dan terorisme. Hendarman seolah secara substantif sah bertindak sebagai Jaksa Agung karena Presiden punya hak prerogatif mengangkat Jaksa Agung. Soal Hendarman tidak diangkat karena "lupa" itu hanya hanya prosedur belaka yang tidak substantif.
Tak seorang pun membantah bahwa Presiden punya hak prerogatif mengangkat Jaksa Agung. Tetapi dalam konteks sebuah negara, legalitas kewenangan bertindak menjadi sangat esensial. Secara substantif setiap orang tentu berkewajiban menegakkan hukum dan ketertiban. Tapi apa lantas setiap orang yang bukan polisi bisa seenaknya menggeledah dan menangkapi orang lain dengan alasan orang lain itu melanggar hukum dan ketertiban, hanya dengan alasan bahwa itu hanyalah soal prosedural. Kehidupan masyarakat akan kacau balau dan negara sudah tidak lagi menjalankan fungsinya dengan benar kalau setiap orang tanpa wewenang dapat bertindak seenaknya, walau secara substantif niatnya baik. Itu saja tanggapan saya.
3. Tanggapan Penulis
Keadilan merupakan hak asasi manusia yang harus didapatkan oleh setiap orang. dengan adanya kedadilan maka setap makhluk hidup dapat menjalani kehidupan dengan baik. Pada dasarnya keadilan merupakan suatu hal dimana hal ttersebut harus diletakkan sesuai dengan porsinya.
Misalkan uang jajan untuk anak SD dan anak SMA apabila ingin adil orang tua mereka berdua memberi ongkos sama. Sebenarnya hal seperti ini bukanlah keadilan. Apabila dipikir lebih lanjut anak SD yang kira2 umurnya masih di bawah 12 tahun di berikan ongkos yang banyak sesuai dengan kakanya yang anak SMA ia akan menggunakan uang tersebut dengan boros karena tidak dapat mengkoordinir keuangannya sendiri. Sedangkan anak SMA yang otomatis membutuhkan pengeluaran yang lebih banyak dibandingkan dengan anak SD sudah pasri akan kekurangan deangan uang yang di berikan orang tuanya.
Dalam hal ini yang di sebut adil adalah memberikan ongkos sesuai kebutuhan anak tersebut. Anak SD sebaiknya di berikan ongkos secukupnya karena apabila di berikan uang yang terlalu banyak akan di hambur-hamburkan dengan sia - sia. Sedangkan anak SMA seharusnya di berikan ongkos yang lebih karena sudah pasti ia memerlukannya untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
Jadi kesimpulannya apabila ingin keadilan diterapkan dengan baik haruslah terdapat porsi yang tepat bagi penerima. Jangan sampai ada pihak yang di rugikan apabila hal tersebut ingin menjadi adil. apabila keadilan sudah dapat diterapkan maka otomatis akan tercipta kehidupan yang aman.
Misalkan uang jajan untuk anak SD dan anak SMA apabila ingin adil orang tua mereka berdua memberi ongkos sama. Sebenarnya hal seperti ini bukanlah keadilan. Apabila dipikir lebih lanjut anak SD yang kira2 umurnya masih di bawah 12 tahun di berikan ongkos yang banyak sesuai dengan kakanya yang anak SMA ia akan menggunakan uang tersebut dengan boros karena tidak dapat mengkoordinir keuangannya sendiri. Sedangkan anak SMA yang otomatis membutuhkan pengeluaran yang lebih banyak dibandingkan dengan anak SD sudah pasri akan kekurangan deangan uang yang di berikan orang tuanya.
Dalam hal ini yang di sebut adil adalah memberikan ongkos sesuai kebutuhan anak tersebut. Anak SD sebaiknya di berikan ongkos secukupnya karena apabila di berikan uang yang terlalu banyak akan di hambur-hamburkan dengan sia - sia. Sedangkan anak SMA seharusnya di berikan ongkos yang lebih karena sudah pasti ia memerlukannya untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
Jadi kesimpulannya apabila ingin keadilan diterapkan dengan baik haruslah terdapat porsi yang tepat bagi penerima. Jangan sampai ada pihak yang di rugikan apabila hal tersebut ingin menjadi adil. apabila keadilan sudah dapat diterapkan maka otomatis akan tercipta kehidupan yang aman.
Sumber :
1. Wikipedia
2. Detik.com
0 komentar:
Posting Komentar